Scientific philosophy, Akulturasi budaya dan Kompleksitas Perspektive Modern Science
Catatan Pendek Wawan Setiawan
Senin, 16 Oktober 2023
Sebuah loncatan pemikiran visioner maju kedepan, bukanlah sebuah proses “ajaib”, Karl Marx dari pendekatan ilmu sosial menjelaskan bahwa semua pemikiran manusia adalah produk dari sejarah budaya dan sejarah pemikiran yang ber-dialektika secara berkesinambungan.
Relasi antara sejarah, budaya masyarakat dan loncatan pemikiran visioner maju kedepan, berinteraksi saling mempengaruhi dan mengubahnya.
Newton membuat karya “Newton’s Principia. The mathematical principles of natural philosophy,” tepat sekitar 1 tahun setelah Galileo meninggal.
Karl Marx, seorang philosopher Jerman, membuat karya Logika, Dialektika berbasis Materialisme (natural alam), setelah philosopher Kompatriot (negara yang sama) Ludwig Andreas von Feuerbach, membuat karya Materialisme.
Kemudian pemikiran ini diadopsi ke Russia masih di era kekaisaran/Tsar jauh sebelum revolusi Komunis Bolshevik 1917.
Sejarah Rusia sendiri, adalah sejarah akulturasi dari budaya eropa timur atau Slavik berinteraksi dengan pelarian orang orang terusir dari tanah Israel.
Kaum keturunan “pendatang” dari tanah Israel ini kemudian bisa meruntuhkan struktur kekuasaan berabad abad kekaisaran Rusia setelah konflik sangat keras, sampai Kekaisaran menerbitkan “The Protocols of the Elders of Zion” yang berisi “niat jahat kaum pendatang dari tanah terusir”.
Setelah mereka berkuasa, mereka melakukan satu tindakan menempatkan pondasi single philosophy bagi negara baru yang mereka bentuk, yaitu “Marxist-Leninist”.
Kemudian kita mengenal “Magnum Opus” Tan Malaka, yaitu Madilog. Untuk memahami ini, kita harus melakukan pendekatan kompleks sejarah Tan Malaka, darimana dia lahir, nilai tradisional apa yang ditanamkan oleh orang tuanya, tahun berapa dia hidup, bagaimana pengalaman hidupnya, apa saja interaksi akulturasi mindsetnya.
Tan Malaka lahir di geografi dan budaya Minang setelah Imam Bonjol memenangkan perang Padri, sebuah perang “pemikiran islam” vs kaum adat dan mereduksi pemikiran kaum adat dan menambah intensitas “pemurnian islam philosophy”.
Kemudian Tan Malaka merantau dan bersekolah ilmu pendidikan di Belanda dan kemudian intelektualitasnya di asah di Russia di era kekuasaan Vladimir Lenin.
Saya sendiri, “lebih dalam” dari Tan Malaka dalam hal mempelajari philosophy, sejarah Russia, nilai tradisional mereka, proses akulturasi budaya kaum “pendatang” dari tanah terusir, plus nilai modern mereka, karena saya menggunakan emosi yang sangat dalam untuk mempelajari masalah ini.
Russia, mungkin adalah negara satu satunya di dunia yang mempunyai wilayah khusus “Jewish Autonomous Oblast”, sebuah “China Town”‘ bagi kaum terusir dari tanah airnya.
Keluarga saya tinggal dan berasal di perbatasan wilayah ini.
Selain itu, proses akulturasi budaya ini, Rusia masih menggunakan budaya pemakaian nama secara patrilineal atau seperti Arab, seorang anak menyandang nama ayahnya.
Anak saya, nama akhirnya Vladimirovna, konversi nama Wawan di Rusia, ibunya menggunakan nama Kuznetsova, identitas Rusia, sedangkan neneknya masih menggunakan nama identitas akulturasi asal usul dari dari tanah terusir.
Nama pendiri Google, nama tengahnya yang jarang disebut adalah “Mikhailovic”, sebuah identitas patrilineal yang jelas.
Nilai tradisional yang mereka tanamkan, sangat kontras dengan nilai tradisional yang saya anut, saya kelahiran Yogyakarta dengan nilai tradisional Muhammadiah, kemudian menetap lama di Jawa Timur yang nilai tradisionalnya NU, dan kemudian berinteraksi dengan mereka.
Saya, secara tradisional mempercayai deterministik/takdir, sedangkan mereka freewill.
Fisika Quantum, secara radikal seperti Werner Heisenberg dan Niels Bohr menempatkan pondasi Fisika Quantum atau “Interprestasi Kopenhagen” dengan in-determinism, atau supporting penuh terhadap keyakinan Freewill.
Sedangkan Richard Feynman, berada di ranah yang lebih bijaksana, tidak ada absolut keduanya, semuanya hanya masalah intensitas mayor dan minor dan diantara keduanya.
Di Facebook, saya pernah ditanya, apakah Fisika Quantum meruntuhkan pondasi Determinism?
Saya jawab tidak, untuk menghibur hatinya, Fisika Quantum sebagai filsafat jadikan saja sebuah filosofi tambahan dan silakan secara personal di susun sendiri sendiri, yang mana ditempatkan sebagai level “kernel” dan yang mana ditempatkan sebagai level “aplikasi”, sesuai kenyamanan masing masing.
Kenyamanan ini penting sekali, karena dari ranah Neuroscience menjelaskan bahwa otak manusia secara evolusioner terdesain tidak mengenal benar salah, tapi nyaman atau tidak, ketika tidak nyaman akan terjadi potensial mental disorder atau gangguan mental.
Kenyamanan mental ini juga dibangun oleh salah satunya nilai tradisional yang dianut atau ditanamkan oleh manusia sejak kecil.
Saya mempelajari nilai tradisional kaum terusir ini dengan penuh emosional, karena kepercayaan tradisionalnya menempatkan hukuman sangat kejam bagi anak saya jika tidak sesuai dengan keyakinan yang saya anut secara tradisional.
Selain itu menanamkan keyakinan tradisional saya ke anak saya, jelas menjadi potensial terkena bully sosial dan memisahkan mindsetnya dari mindset sosial masyarakat disana, selain itu kurikulum pendidikan mereka juga kontras, sangat potensial menimbulkan mental disorder jika masalah ini dipaksakan.
Vladimir Lenin, memang revolusioner, ingin cepat menyebarkan philosophy-nya dianut dunia, Lenin belum berada di era Neuroscience yang menjelaskan bahwa perubahan sangat radikal dan mendadak di level kepercayaan tradisional, bisa menimbulkan mental disorder.
Tan Malaka dipecat dari Komintern juga akibat masalah ini, Lenin tidak ingin Tan Malaka masih mempertahankan nilai budaya kepercayaan tradisionalnya.
Tan Malaka dengan terang terangan berani berpidato tentang keinginannya membangun “Komunisme dan Pan-Islamisme” di Konggres Komintern ke-4 di Baku.
Walisongo dan Tan Malaka, beroperasi dengan cara yang sama namun berbeda ranah, ingin melakukan proses akulturasi budaya, sedangkan Vladimir Lenin, dan 4 “penunggang kuda” dari Amerika modern, yaitu Richard Dawkins, Daniel Dennett, Sam Harris dan Christopher Hitchens, mereka orang orang radikal terhadap kepercayaannya sendiri.
Di Indonesia, terutama Facebook, saya lihat banyak yg mengalami mental disorder karena mengubah kepercayaan dasar secara radikal dan ingin cepat.
Saat ini ada yg bilang era Quantum, Science dan Teknologi Inovasi, memang benar, namun Nusantara juga mempunyai sejarah kebudayaan tinggi sendiri, apabila nilai tradisional tinggi ini dihapus jejak sejarahnya, potensial yang akan terjadi adalah anak anak masa depan Indonesia dengan mental disorder.
Di China, Xi Jinping telah mencoba mengadopai nilai nilai Islam di akulturasi dengan nilai budaya Confusian yang memang nilai tradisional sejarah panjang mereka.
PPKI, memang secara konstitutional per tanggal 18 Agustus 1945, telah menempatkan single philosophy Grondslag Indonesia, yaitu Pancasila, namun jangan khawatir menganut multi philosophy, natural alam atau silakan disebut dengan “The Mind of God”, ternyata juga bekerja tidak dengan single philosophy.
Catatan:
Ini tulisan khusus untuk WAG FTI, tidak saya upload ke sosmed.