Science, Methodologi dan Paul Feyerabend
A. Logika dan Science semula dikonsep methodologinya menjadi lebih ketat agar lebih presisi hasil, abad 17 filsafat empirisme dimasukan, dan menandai lompatan lahirnya atheisme modern Eropa.
Kalau konsep ini di “dogmakan”, maka untuk mengukur/menalar secara mudah akurasi Science adalah melihat dari turunan semua “inovasi teknologi terapan”-nya.
Teknologi Inovasi yang bisa berjalan kasat mata, pasti hasil dari sebuah landasan Science yang benar. (Wawan Setiawan)
B. Paul Feyerabend, seorang Atheis secara Anarkis menggugat ketatnya methodologi Science, science boleh di konsep diatas methodologi apa saja, konsep Science Empiris/kasat oleh Indera digugat di “Against Method”
C. Filsafat Idealisme vs Materialisme Realitas Obyektif, menurut pembaca, apakah Stochastic-nya karakter Quantum adalah “Interprestasi manusia” atau “Realitas Obyektif Natural Alam”?
D. Leonard Susskind mencari batasan relative dari “pencacahan paling kecil dari sebuah benda” dengan String Theory.
Uraian singkat:
Pemenang Nobel Science Kimia 2023, inventor Quantum Dot, menunjukan bahwa batas antara natural Science dan Teknologi Inovasi semakin tipis.
Science, secara normatif adalah penalaran logis empiris, sedangkan Quantum Dot hanya sebuah konsep “breakthrough thinking batas relative antara” fisika makro dan mikro yang di natural alam tidak ada.
Ketatnya methodologi of Science, berimplikasi hasil lebih presisi, namun di dalam derajad tertentu, cara berpikir terlalu ketat bisa “mematikan” kreativitas untuk melakukan “radikal breakthrough thinking” seperti hipotesa Abiogenesis ataupun Bigbang, atau theory Science baru masa depan.
Baca Lengkap: https://baliooo.wordpress.com/2023/10/26/science-methodologi-dan-paul-feyerabend/
Referensi:
TENTANG KEBENARAN DAN METODE ILMU PENGETAHUAN MENURUT PAUL
FEYERABEND SEBUAH KOMENTAR KRITIS Ashadi Arsitektur UMJ Press
An Introduction to String Theory
Susskind Lectures on String Theory
Methodology of Science an introduction lukáš bielik
Teknovasi – Take u to the Future – https://teknovasi.org
Sponsor – PT. Equnix Business Solutions – https://equnix.asia
Untuk subscribe notifikasi artikel terbaru Teknovasi silakan subscribe ke – https://baliooo.wordpress.com
Catatan Pendek Wawan Setiawan
Kamis, 26 Oktober 2023
—————-
Science, disusun diatas methodologi atau konsep. Pondasi methodologi dari sebuah “kernel” Science, dibuat agar hasil kesimpulan mendekati akurat.
Dahulu, ilmu Logika Yunani Kuno sampai ke ilmu “Mantiq” atau ilmu Logika Islam, belum mengadopsi kesyaratan atau menalar melalui premis harus empiris.
Impactnya, Tuhan memang masih masuk kedalam ranah penalaran didalam ilmu Mantiq.
Kaum Mutazillah adalah kaum Islam yang memuja penalaran, dan Tuhan masih domain didalam penalaran.
Situasi mulai berubah “mencekam” gara gara abad 17 kaum Eropa yang baru saja keluar dari 16 abad “dogma” Kekristenan, John Lock mulai mengkonsep Empirisme sebagai persyaratan premis penalaran, atau persyaratan didalam Logika, atau persyaratan didalam methodologi ilmu.
Dukungan dan radikalisme dari Francis Bacon, Thomas Hobbes dan terutama David Hume membuat era baru bahwa Science harus ber-methodologi Empiris, atau bisa dicapai dengan indera Manusia.
Pertentangan terhadap pemikiran ini juga sengit, Immanuel Kant mempunyai konsep pencapaian bisa melalui akal atau bisa juga dengan empiris.
Akibat masuknya empirisme ke ranah penalaran Logika dan Dialektika ini membuat lahir filsafat baru, filsafat naturalist, materialisme, atheisme, ketiganya dalam domain yang sama.
Abad 20, dan dari Pak Dr. rer. nat. I Made Wiryana, saya mulai dikenalkan dan tertarik konsep berpikirnya philosopher Paul Feyerabend, dari Austria.
Feyerabend seorang penganut Atheism abad 20, uniknya dia menggugat ketatnya methodologi of Science yang salah duanya adalah Rasionalisme dan Empirisme, dua ranah filsafat yang banyak memproduksi atheism.
Secara historis, Atheisme modern Eropa lahir secara radikal melompat setelah era Rasionalisme abad 16, Empirisme abad 17, dan Naturalisme Materialisme abad 18.
Tentunya mayoritas converter atheisme modern adalah kaum Kristian, terutama Eropa era Aufklarung/Pencerahan.
Namun Feyerabend tidak setuju apabila ilmu pengetahuan harus rasional dan empiris ansich, dan secara anarkis, Feyerabend mengkonsep ilmu pengetahuan harus dibebaskan oleh methodologi filosofis yang ketat.
Karyanya yang paling radikal adalah “Against Method”
Feyerabend akibat gagasan ini, dianggap sebagai “musuh Science terburuk”
Saya pribadi, justru berterima kasih terhadap Feyerabend yang sudah menggagas anti methode Science yang sangat ketat termasuk Empirisme.
3 Premis dibawah semoga bisa membangunkan kita, kira kira bagaimana apabila Science di-ikat oleh methodologi yang sangat ketat hanya mengandalkan Rasionalisme Logika Empiris.
A. Quantum Dot gagasan Alexey Ekimov pemenang Nobel Kimia 2023, sudah jelas mengkonsep material yang secara alam tidak ada, material Quantum semi Nano atau vice versa Nano semi Quantum, material berkarakter “seimbang” antara mikro dan makro karena ukuran materialnya memang ranah “antara”.
Sudah jelas Quantum Dot bukan dari penalaran sebuah premis Logika Rasionalisme dan Empirisme, tapi dari sebuah penalaran kreativitas tinggi.
B. Atom, semula dikonsep oleh Demokritus, kemudian John Dalton abad 18.
Jelas mereka berdua secara empiris belum pernah melihat atom, selain konsepsi di pikiran mereka karena kepercayaan benda benda besar selalu bisa tercacah dengan lebih kecil.
Saat ini, era Quantum dengan bahasan partikel elementer, secara radikal oleh Leonard Susskind murid Richard Feynman dengan theory String, bahwa semua tersusun secara mikro oleh vibrasi atau getaran yang “bernyanyi”.
Saat ini tahun 2023, Leonard Susskind juga mendapat Dirac Medal atau Penghargaan “Paul Dirac” dari The Abdus Salam International Centre for Theoretical Physics yang bermarkas di Italia.
Abdus Salam sendiri seorang moslem beraliran Ahmadiah dari Pakistan yang memenangkan Nobel Fisika tahun 1979.
C. Gagasan Abiogenesis, Big Bang dan Evolusi dan karakter partikel Quantum.
Ketiganya sudah jelas bukanlah hal yang empiris karena prediksi terjadinya adalah sekitar 14 milliar tahun yang lalu.
Selain itu watak atau karakter partikel Quantum yang Random sulit masuk kedalam kesyaratan ilmu Logika yang modern harus runtut logis.
Quantum lebih tepat masuk kedalam penalaran “Brownian Motion” oleh Robert Brown pada tahun 1827, dan jauh sebelumnya sudah diulas oleh Lucretius dalam karyanya “De Rerum Natura/On the Nature of Things” abad 99 SM.
Evolusi sendiri melibatkan basis penalaran Mutasi Random, mutasi random yang terjadi secara terus menerus dan lolos seleksi alam adalah transformasi ke proses evolusi.
Proses transformasi kuantitatif ke kualitatif memang ada didalam penalaran Dialektika, tapi tidak spesifikasi bahwa ini juga bisa terjadi oleh proses yang random.
———
Sekarang ini, abad 21, cara pandang alam kita sudah semakin kaya, ada Fisika Makro, dan Mikro/Quantum, Relativitas, ada Logika (empiris/non-empiris), Dialektika (empiris/non-empiris), Quantum Stochastic, Evolusi dan Random Mutasi, filsafat Idealisme vs Materialisme.
Idealisme adalah filsafat yang membahas bahwa kebenaran terikat oleh interprestasi manusia, Werner Heisenberg adalah fisikawan Quantum penting penganut aliran ini, sehingga ketika berhadapan dengan Quantum theory, Werner menjelaskan “Realitas Obyektif” adalah Ilusi manusia, sedangkan Albert Einstein menyangkalnya bahwa fisika harus tetap berdiri diatas pengamatan “Realitas Obyektif”.
Existnya Gravitasi, mudah di terka adalah “Realitas Obyektif”, namun Quantum Stochastics menurut Anda apakah seperti pendapat Heisenberg yang tetap memilih menggunakan kalimat “Interprestasi Kopenhagen” atau Quantum tetap berada di ranah Realitas Obyektif?